Oleh : Washil Bahalwan
Tentunya warga kota
Surabaya banyak yang tidak mengetahui, kenapa Hari Ulang Tahun (HUT) Kota
Surabaya diperingati setiap tanggal 31 Mei? Banyak versi dan pendapat mengenai
hal itu. Dan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, marilah kita
ikuti pembahasan edisi ini.
Alhamdulillah, dari
dokumen pribadi berupa kliping 17 tahun yang silam tentang sejarah lahirnya
kota Surabaya koleksi Dukut Imam Widodo yang telah dimuat di Radar Surabaya,
edisi Senin, 23 Juli 2001. Juga tambahan informasi dari berbagai pihak,
menambah kelengkapan dokumen kami. Berikut ini ulasan selengkapnya.
Sejarah lahirnya kota
Surabaya, tidak dapat dilepaskan dari kerajaan Majapahit dengan Raden Wijaya
sebagai raja pertamanya. Entah bagaimana ceritanya, Panglima Shihpi, Ike Mise
dan Kau Hsing yang terkenal sebagai panglima kenamaan dari tentaraTtartar dapat
terkecoh oleh Raden Wijaya, dan apa pula cara yang dilakukan oleh Raden Wijaya
sehingga panglima tersebut mau menuruti Raden Wijaya untuk menyerang kerajaan
Kediri. Padahal perintah kaisar Khu Bilai Khan sudah jelas, yaitu hancurkan
kerajaan Singosari, walaupun sebenarnya kerajaan Singosari sudah runtuh
berkeping-keping.
Hal itu terbukti,
tentara Tartar dan Majapahit, tanggal 22 April 1293 berangkat menuju Kediri.
Padahal Raja Jayakatwang dari Kediri bukanlah target operasi tentara Tartar
(Panglima Shihpi), mungkinkah panglima Shihpi terkecoh dengan bahasa Mandarin
Raden Wijaya? Dengan kata lain dengan bahasa Mandarin, Raden Wijaya “mbujuki”
panglima Shihpi.
Perlu diketahui, pasukan
Majapahit terdiri dari pasukan desa baru Majapahit, yang tak lain adalah bekas
pasukan Singosari yang telah bercerai-berai, ditambah pasukan dari Madura yang
diperbantukan oleh Adipati Aria Wiraraja untuk membangun desa Majapahit.
Sebelum berangkat, mereka berkumpul di Tegal Bobot Sari dan dengan tekad bulat,
Raden Wijaya ingin merebut kekuasaan dari tangan Jayakatwang untuk selanjutnya
juga tentara Tartar.
Tanggal 26 April 1293,
tepatnya sebelum jam enam pagi, pasukan Tartar dan Majapahit sudah tiba di
Kediri, langsung menyerang ibukota kerajaan Kediri. Karena tidak ada persiapan,
maka tanpa perlawanan yang berarti, akhirnya Kediri jatuh, Raja Jayakatwang dan
anaknya ditawan oleh tentara Tartar. Melihat hal itu Raja Jayakatwang mengumpat
dan marah besar kepada Raden Wijaya.
Melihat kemarahan
Jayakatwang, Raden Wijaya yang ternyata juga bekas panglima perang kerajaan
Singosari menimpali kemarahan Jayakatwang dengan mengatakan, “Kamu
(Jayakatwang) juga pernah melakukan hal yang sama kepada Raja Kertanegara,
kerajaan Singosari “. Jadi semacam politik balas dendam.
Setelah Kediri jatuh,
Raden Wijaya mengatur siasat, bagaimana cara menyerang tentara Tartar. Raden
Wijaya merupakan ahli strategi peperangan, cerdik dalam memanfaatkan momen
(kesempatan). Raden Wijaya tidak langsung menyerang tentara Tartar ketika
mereka masih berkumpul di Kediri. Karena pasukan Shihpi, Ike Mise dan Kau Hsing
masih terlalu kuat dilawan oleh pasukan Majapahit.
Setelah mengetahui
rencana sekutunya, maka kesempatan itu diambil oleh Raden Wijaya, tanggal 9 Mei
1293 meminta izin mendahului pulang ke Majapahit dengan alasan mempersiapkan
acara penyambutan kemenangan sekaligus pesta serta pemberian upeti kepada
Kaisar Khu Bilai Khan. Demikian kata Raden Wijaya dalam bahasa Mandarin (kurang
lebih seperti itu kalimatnya). Mendengar itu panglima Shihpi percaya dan
menyambut dengan suka cita. Padahal itu hanyalah tipu muslihat Raden Wijaya
untuk memukul mundur tentara Tartar.
Di sisi yang lain,
bukankah Jayakatwang dan anaknya masih ditawan oleh tentara Tartar ? Pada saat
Raden Wijaya meninggalkan tentara Tartar, apakah Jayakatwang melalui
penerjemahnya tidak bisa bicara pada panglima Shihpi, Ike Mise atau Kau Hsing,
bahwa tentara Tartar itu telah diperdaya dan dikecoh oleh Raden Wijaya ?
Sesampai di Majapahit,
Raden Wijaya segera mengatur siasat penyergapan terhadap tentara Tartar yang
hendak kembali ke induk pasukannya di Ujung Galuh. Kemampuan memanfaatkan
kesempatan, ketika bala tentara Tartar di bawah kepemimpinan panglima Shihpi
dan Ike Mise berangkat dari Kediri tanggal 22 Mei 1293, maka sepanjang
perjalanan ke Ujung galuh, tentara Tartar diserang pasukan Majapahit. Karena
begitu rapi dan besarnya perlawanan, menyebabkan panglima Shihpi terpisah dari
induk pasukannya.
Mereka harus bertempur
sepanjang 300 li (kira-kira 100 km) dan kehilangan tidak kurang 3000 orang.
Karena situasi tidak terkendali, akhirnya panglima Shihpi bergegas masuk ke
kapal dan terpaksa terlibat pertempuran sengit dengan pasukan tentara Majapahit
yang langsung dipimpin oleh Raden Wijaya di Tegal Bobot Sari. Sampai di Ujung
galuh tanggal 30 Mei 1293. Karena kondisi tidak memungkinkan, maka pasukan
Tartar dengan panglima Shihpi selanjutnya berlayar meninggalkan daratan Ujung
Galuh dengan tergesa-gesa pada tanggal 31 Mei 1293.
Dilihat dari nama “hujung” atau ujung tanah
yang menjorok ke laut atau tanjung. Dapat dipastikan wilayah ini berada di tepi
laut atau pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan
pengrajin perak disebut “Wong Anggaluh” atau “Kemasan”. Dalam purbacaraka
“galuh” sama artinya dengan perak. Hujung Galuh atau Hujung Emas bisa juga
disebut dengan Hujung Perak yang kemudian menjadi ”Tanjung Perak” yang terletak
di muara sungai atau kali emas (Kalimas).
Kemungkinan besar Tanjung Perak sekarang itulah
yang dulunya bernama Hujung Galuh. Prasasti Klagen juga menyebutkan bahwa
Hujung Galuh sebagai jalabuhan atau tempat bertemunya pedagang antar pulau yang
melakukan bongkar muat barang dengan perahu. Akan tetapi banyak juga yang
berpendapat berbeda. Semuanya kita kembalikan kepada sejarah.
Hari Jadi
Kota Surabaya
Peristiwa larinya pasukan Tartar meninggalkan
daratan Ujung Galuh pada hari Minggu, 31 Mei 1293 sangat besar artinya bagi
Raden Wijaya dan pasukannya maupun bagi rakyat Ujung Galuh. Jadi sudah
sewajarnya, apabila masyarakat Surabaya merayakan dan memperingati peristiwa 31
Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Ketimbang jika Hari Jadi Kota
Surabaya dirayakan setiap 1 April 1906 sesuai dengan pembentukan Gemeente
Soerabaia tahun 1906, yang jelas-jelas salah weton.
Coba kita renungkan, jika tetap memakai
perhitungan weton orang Belanda, maka hari jadi kota Surabaya tahun 2001 ini
baru yang ke 95. Berarti kalau pada tahun 2018 ini maka Surabaya baru berumur
112 tahun.
Berdasarkan keputusan
Walikota Surabaya tahun 1973, dibentuk tim khusus untuk melakukan penelitian.
Tim itu melakukan penelitian secara ilimiah, selama satu tahun lebih. Akhirnya,
ada empat tanggal yang ditetapkan sebagai alternatif hari jadi Surabaya. Dari
empat tanggal yang diusulkan itu, ditetapkan tiga tanggal yang cukup layak dan
satu tanggal dinyatakan minderheids nota, oleh anggota tim.
Alternatif pertama yang
diajukan tim adalah tanggal 31 Mei 1293. Disebutkan, bahwa pada tanggal itu,
tentara Raden Wijaya dari Mojopahit memenangkan peperangan melawan tentara
Tartar yang dikomandani Khu Bilai Khan dari Mongolia dan berhasil mengusirnya
dari Hujunggaluh, nama desa di muara Kalimas.
Alternatif kedua,
tanggal 11 September 1294, waktu itu Raden Wijaya menganugerahkan tanda jasa kepada
Kepala Desa Kudadu dan seluruh rakyatnya atas jasa mereka membantu tentara
Raden Wijaya mengusir tentara Tartar.
Alternatif ketiga,
tanggal 7 Juli 1358, yaitu tanggal yang terdapat pada Prasasti Trowulan I yang
menyebut untuk pertama kalinya nama Surabaya dipakai sebagai naditira pradeca
sthaning anambangi (desa di pinggir sungai tempat penyeberangan).
Alternatif keempat
adalah tanggal 3 November 1486, tanggal yang terdapat pada Prasasti Jiuyang
menjelaskan, bahwa Adipati Surabaya untuk pertama kalinya melakukan
pemerintahan di daerah ini.
Dari empat alternatif
tentang hari yang bakal ditetapkan sebagai hari jadi Surabaya, dilakukan
pengkajian menyangkut data sejarah, pertimbangan yang ideal dan nilai serta
jiwa kepahlawanan sebagai ciri khas Surabaya. Walikota Surabaya, R.Soekotjo
waktu itu mengusulkan kepada DPRD Kota Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi
Surabaya tanggal 31 Mei 1293.
Dalam rapat-rapat DPRD
Kota Surabaya, setelah melakukan kaji ulang dari berbagai aspek, DPRD Kota
Surabaya dengan Surat Keputusan No.02/DPRD/Kep/75 tertanggal 6 Maret 1975,
mengesahkan dan menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293. Berdasarkan
itu, Walikota Surabaya R.Soekotjo menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat
Keputusan No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975, yang menetapkan tanggal 31 Mei
1293 sebagai Hari Jadi Surabaya.
Semoga di usianya yang
ke 725 tahun sekarang ini, Surabaya mampu menjadi kota yang ramah kepada
warganya, kepada lingkungannya serta mampu menjadi pioner perekat persatuan dan
kesatuan bangsa. Disamping itu kepada warga kota untuk terus meningkatkan
kewaspadaan dan partisipasi untuk kemajuan kota tercinta. Kepada Pemerintah
kota untuk secara terus menerus meningkatkan kesejahteraan, kenyamanan dan
keamanan warganya.
“Dirgahayu ke 725 tahun
kota surabaya”. Melalui Surabaya, kita gelorakan semangat patriotisme untuk
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam naungan Ridha Illahi Rabbi.
*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya
dan Pemerhati Sosial.
*Tulisan
ini juga dimuat di suaramuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar