Oleh : Washil Bahalwan
Cerita sejarah Kota
Surabaya kental dengan nilai kepahlawanan. Sejak awal berdirinya, kota ini
memiliki sejarah panjang yang terkait dengan nilai-nilai heroisme. Istilah Surabaya
terdiri dari kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah
diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang.
Nilai kepahlawanan
tersebut salah satunya mewujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya
dan pasukan Mongol pimpinan Khu Bilai Khan di tahun 1293 M. Begitu
bersejarahnya pertempuran tersebut hingga tanggalnya diabadikan menjadi tanggal
berdirinya Kota Surabaya, yaitu 31 Mei.
Dokumen pribadi berupa
kliping yang tersimpan 17 tahun yang silam yaitu koleksi Dukut Imam Widodo dan
telah dimuat di Radar Surabaya, edisi Sabtu, 16 Juni 2001, membahas “Lambang
Kota Surabaya” dan ditambah masukan dari berbagai pihak menjadi landasan dalam
menulis Surabaya Tempo Doeloe. Mari kita ikuti bersama ulasan selengkapnya pada
edisi ini.
Sejarah suatu kota,
lambang dan lainnya merupakan informasi yang penting diketahui oleh khususnya
warga kotanya mau pun masyarakat secara luas. Lambang suatu kota merupakan
salah satu identitas, di samping masih ada identitas lainnya. Karena dari
lambang itu kita dapat mengetahui karakter, perwatakan dari warga kotanya.
Begitu juga dengan Surabaya.
Seperti yang sama-sama
kita ketahui, lambang kota Surabaya adalah “Tugu Pahlawan yang diapit oleh ikan
suro (hiu) dan buaya”. Tentunya banyak penafsiran tentang lambang tersebut,
yang semuanya melihat dari sudut pandang berbeda.
Penetapan lambang kota
Surabaya, telah mendapatkan keputusan politik yang berimplikasi pada hukum,
yaitu dengan ditetapkannya dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara
(DPRDS) Kota Besar Surabaya tahun 1956.
Pada umumnya,
masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata
Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing
Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.
Ada juga yang menyebut berasal dari kata “Cura Bhaya” atau
“Curabhaya”. Penulisan nama Surabaya pun berubah ejaannya sesuai dengan zaman
pemakaiannya. Sebelum ditulis dengan kata Surabaya sekarang ini, pernah pula
ditulis: Surabaia, Soerabaia, Seoarabaja dan Surabaja.
Berdasarkan filosofi
kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai, Sura (Suro) dan Baya
(Boyo), menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam
ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat
bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya
(Boyo). Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran
tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda.
Begitu pulalah warga
Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, agama, etnis dan ras, namun
dapat hidup rukun dalam bermasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama
Surabaya awalnya adalah Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada
prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu
tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat
penambangan yang dahulu sudah ada.
Dalam sejarah, nama Surabaya terdapat pada buku
Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan “Yen ring Janggala lok
sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun”. Artinya Jika di Jenggala ke laut,
raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun. Jenggala adalah Sidoarjo dan Buwun
adalah Bawean.
Mitos
Cura–Bhaya
Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang
asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN. Balai Pustaka tahun
1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber
penelitian sejarah. Bukunya berjudul Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos
Cura-Bhaya”.
Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto
Timoer membuat kesimpulan, hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun
1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam
Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakartagama, pupuh XVII:5).
Surabaya tidak bisa
dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan
adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu
terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan
ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam
percaturan negara.
Ditilik dari makna,
nama “hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat
dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa
Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut Wong anggaluh atau kemasan seperti
tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito.
Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan
perak. Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak,
dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali
Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama
Hujung galuh.
Sejak Kapan
Hujunggaluh Berubah Menjadi Surabaya ?
Memang, perubahan nama tidak sama dengan
penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satu
pun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh
menjadi Surabaya. Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat
Indonesia, termasuk di pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan
nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi
dalam mencari hari jadi Surabaya.
Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi
Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang. Bencana alam
meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu
mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya
Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran
mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan
hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya).
Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos,
untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka
digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya. Mitos
ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran
Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua
Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.
Bagaimanapun juga,
mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah
merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya,
hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh
sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan
daratan.
Begitulah sedikit kisah
tentang nama Surabaya yang dikaitkan dengan Junggaluh atau Hujunggaluh.
Demikian, seperti yang dikutip dari M. Yousri Nur Raja Agam.
Itulah cerita lambang
kota Surabaya. Sekali lagi, adanya berbagai versi cerita rakyat tentang
Surabaya tidak perlu dipertentangkan, tetapi jadikanlah wacana untuk berpikir
lebih luas lagi. Karena kebenaran sejarah bukan monopoli satu kelompok.
Sebagai pemerhati
sosial dari ulasan tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian kita bersama, yaitu :
Semangat keberanian
harus kita tujukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan mulia yaitu menjadikan
kota Surabaya sebagai kota yang berbudaya dan berdaya saing untuk mencapai
kesejahteraan warganya.
Semakin banyaknya
cerita rakyat tentang Surabaya dengan berbagai dimensi, menunjukkan kepada kita
bahwa Surabaya memang kota besar dan sangat berpengaruh dari dahulu sampai
sekarang. Tugas warga kota adalah melestarikan nilai-nilai kebaikan untuk
kepentingan dan kemakmuran bersama.
Mari kita jaga dan
rawat bersama keanekaragaman Surabaya dari berbagai sisi. Karena pada
hakekatnya kita adalah saudara dan cinta perdamaian.
Semoga Surabaya semakin
hari semakin indah dan elok serta masyarakatnya hidup damai, aman dan
sejahtera. Aamiin.
*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya
dan Pemerhati Sosial.
*Tulisan
ini juga dimuat di suaramuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar