Oleh : Washil Bahalwan
Di tengah persoalan bangsa yang beraneka ragam dan memerlukan penanganan dengan segera, maka mengharuskan setiap anak bangsa untuk mengedepankan sinergi dan menguatkan komunikasi, agar persoalan bangsa ini segera mendapatkan solusi yang pada akhirnya kita mampu mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain.
Dan apabila kita telaah lebih dalam, persoalan mendasar dan harus menjadi skala prioritas untuk penyelesaian adalah masalah pendidikan. Karena manakala pendidikan itu mampu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik yaitu potensi pengembangan karakter, kemandirian dan semangat juang serta yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian untuk menghormati dan menghargai antar sesama anak bangsa, maka persoalan-persoalan lainnya dapat dieliminir dan bahkan dihilangkan.
Alhamdulillah, ketika kami mendapat kesempatan berdiskusi dengan Prof. DR. H. Munandir, M.A. seorang Guru Besar Universitas Negeri Malang, tentang banyak hal terutama menyangkut pendidikan dan segala permasalahan yang mengitarinya, maka kesempatan tersebut kami manfaatkan betul untuk menggali lebih dalam lagi pokok-pokok pikiran serta ide dasar dari Prof. Munandir, demikian biasa disebut. Dan ternyata apa yang dibayangkan oleh beliau pada masa itu, sekarang ini terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Oleh karena itu sebagai pemerhati sekaligus peduli akan lahirnya pendidikan yang tidak hanya berkualitas, akan tetapi pendidikan yang ramah serta memberi ruang pada peserta didik untuk berkembang secara alami, maka kami berkewajiban untuk berbagi tentang pokok-pokok pikiran dan ide dasar dari Prof. Munandir, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan renungan kita bersama, agar pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang berakhlaqul karimah dan berprestasi segera terwujud.
Dan untuk edisi kali ini, kami akan membahas pokok pikiran Prof. Munandir yang diberi judul “Pendekatan Lintas Budaya dalam Pendidikan (Pembelajaran & Konseling)“.
Indonesia merupakan negara dan bangsa majemuk, juga dikatakan negara dan bangsa yang multietnis dan multibudaya. Ada banyak dan beragam suku, bangsa, agama, budaya yang membentuk bangsa Indonesia (yang menyusun penduduk Indonesia).
Suku : Ada ratusan, bahkan ribuan suku; mereka mendiami ribuan pulau.
Bangsa : ada yang “ asli “ ada keturunan ( Tionghoa, Arab, India, Belanda dan sebagainya ).
Agama : Ada enam yang diakui; berarti ada lebih dari enam yang tidak resmi (aliran kepercayaan, dinamisme, animisme).
Budaya : Ada berbagai adat, kebiasaan, kelaziman, kepercayaan, tabu, sistem nilai, bahasa (dalam satu bahasa, ada bermacam-macam logat, dialek).
Indonesia adalah negara seluas Eropa (ditambah Inggris Raya). Sejak kemerdekaan (bahkan sejak zaman kolonial), segala sesuatu diurus/ditangani terpusat (dari Jakarta selaku Ibu kota negara), mulai dari pemerintahan dalam negeri, perekonomian termasuk pendidikan. Karena bangsa Indonesia pada saat itu memakai sistem sentralisasi. Daerah provinsi. Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur/mengurus sendiri.
Sentralisasi dalam bidang pendidikan, menyangkut banyak hal, mulai dari urusan akademis, ketenagaan (guru dan tenaga kependidikan), administrasi, keuangan termasuk komponen kurikulum. Hanya ada satu kurikulum yang berlaku secara nasional. Misalnya persoalan pengajaran-pembelajaran, sistem evaluasi hasil belajar siswa, pelaksanaan bimbingan & konseling semuanya tersentral dari pusat. Padahal kalau kita lihat karakter setiap daerah dan sekolah sangatlah berbeda.
Pada tahun 2001, mulai diterapkannya sistem administrasi pendidikan tidak lagi tersentral, akan tetapi di-desantralisasikan kepada daerah dengan program OTODA ( Otonomi Daerah ) kepada kabupaten/kota. Namun sistem baru tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya, sistem yang lama belum hapus sama sekali.
Menurut Prof. Munandir, sistem sentralisasi pendidikan terdapat kelemahan, diantaranya adalah : Mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah beragam, majemuk, diversivikasi, pluralisme peserta didik. Secara umum dalam mengajar, seorang guru menganggap bahwa peserta didik dalam satu kelas atau bahkan dalam satu sekolah ITU SAMA SEMUA, termasuk dalam melakukan bimbingan & konseling. Umumnya KONSELOR beranggapan bahwa persoalan yang dihadapi oleh peserta didik adalah SAMA. Padahal kenyataannya, peserta didik itu berbeda baik kemampuan, bakat dan kepribadiannya. Dan yang sering dilupakan oleh guru atau konselor adalah mereka itu ( peserta didik) berbeda latar belakang budaya. Seorang anak / peserta didik itu satu kesatuan pribadi yang lain dari anak lainnya, IA KHAS, UNIK.
Untuk itu manakala guru-pendidik dalam melaksanakan proses belajar-mengajar memperlakukan sama terhadap peserta didik, itu berarti telah mengabaikan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Dan hal itu berdampak merugikan pengajaran dan bimbingan-konseling peserta didik. Di bidang pengajaran, dampaknya tidak saja berupa terhambatnya belajar, tetapi akan timbul dalam diri peserta didik macam-macam gangguan EMOSIONAL-PSIKOLOGIS. Termasuk dalam konseling akan berakibat pada tidak jalannya atau tidak majunya konseling. Peserta didik menjadi pribadi yang TIDAK MAU MEMBUKA DIRI (tertutup), sehingga persoalan yang dihadapi tidak terpecahkan dan masih banyak dampak lainnya.
Seorang guru termasuk konselor sangat penting dan perlu mengenal dan memahami latar belakang budaya peserta didik. Perbedaan tersebut dapat terjadi, walaupun peserta didik itu berasal dari suku, agama, jenis kelamin yang sama. Perbedaan tersebut juga dialami oleh para guru dan konselor, walaupun mereka berasal dari suku, agama, jenis kelamin yang sama. Maka dapat dibayangkan bagaimana rumitnya hubungan antara peserta didik dengan guru termasuk konselor dengan peserta didik (yang mempunyai persoalan), apabila ditinjau dari latar belakang budaya.
Agar proses pembelajaran dapat berjalan lancar dan terpenuhinya ruang untuk berekspresi, maka seorang guru-konselor dituntut memiliki kesadaran dan kepekaan atas adanya perbedaan budaya diantara peserta didik. Guru-konselor pun juga dituntut untuk sadar dan peka atas dirinya sendiri, termasuk budayanya sendiri. Dengan kata lain GURU-KONSELOR PERLU MENGENAL DIRINYA SENDIRI ... SIAPA SAYA INI SEBENARNYA ... DAN MENGENAL BUDAYANYA SENDIRI, agar dapat mengenal dan memahami peserta didik yang khas dan unik itu.
Perbedaan budaya perlu mendapat perhatian dari guru-konselor. Karena perbedaan tersebut dapat berpengaruh pada jalannya pengajaran dan konseling dan tentunya itu berpengaruh pula pada hasil yang dicapai. Oleh karena itu dalam melaksanakan pengajaran dan konseling ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah : bahasa, pandangan tentang hakekat orang, tujuan hubungan antar manusia, orientasi waktu, hubungan dengan lingkungan termasuk alam dan orientasi tindakan.
Dalam melakukan konseling, harusnya lebih diperhatikan lagi adanya perbedaan lintas budaya tersebut. Kesadaran itu dapat digambarkan pada satu garis urutan (kontinuum) dari satu ujung kiri ke ujung kanan. Dimulai dari : kesadaran diri sendiri, kesadaran akan budayanya sendiri, kesadaran adanya hal-hal seperti rilek, kemiskinan, kesadaran adanya perbedaan individu, kesadaran adanya budaya yang lain/berbeda, kesadaran adanya keberagaman ketrampilan dalam melakukan konseling.
Di atas telah disebutkan bahwa anak / peserta didik adalah KHAS, tiada duanya. Oleh karena itu tidak dapat disamakan atau dibandingkan antara anak / peserta didik satu dengan lainnya. Karena kekhasan anak itu adalah kekhasan budaya, maka dalam melaksanakan pengajaran dan konseling seorang guru-konseling harusnya juga khas dalam memberikan tindakan / perlakuan. Hal itu dimaksudkan agar terjadinya perubahan ke arah yang positif dengan memberi ruang kepada peserta didik untuk berkembang sesuai dengan kekhasannya.
Bagi guru, kaitannya dengan kekhasan peserta didik mungkin dapat menimbulkan masalah ( merepotkan ). Sebagai guru kelas ( tingkat SD ), maka yang diperhatikan adalah peserta didik satu kelas ; individu anak dalam kelas tersebut seakan-akan tenggelam ( tidak kelihatan ). Akan tetapi selaku PENDIDIK ( yang menyadari akan adanya perbedaan individu ), maka ia ( pendidik ) akan melayani peserta didik satu – persatu dengan pola pendekatan individual sesuai dengan karakternya masing-masing. Artinya guru harus mampu mengkombinasikan dua perhatian tersebut. Ketika akan merancang pembelajaran, maka guru harus memperhatikan secara kolektif ( tentunya tetap mempertimbangkan aspek kepribadian ). Dan manakala menghadapi peserta didik yang mengalami persoalan, misalnya kesulitan dalam belajar yang berakibat pada menurunnya prestasi belajarnya, atau masalah pribadi lainnya, maka guru harus memperhatikan peserta didik secara individu. Muncul pertanyaan dari peristiwa di atas, yaitu, Apakah di dalamnya ( adanya perbedaan ) tersebut tidak ada faktor budaya yang mempengaruhinya ?.
Untuk konselor sangat berbeda dengan guru dalam melihat persoalan yang dihadapi oleh peserta didik. Seorang konselor MUTLAK memperhatikan dan melakukan pendekatan kepada peserta didik yang bermasalah sebagai PRIBADI ( INDIVIDU ). Hal ini terlebih, ketika sedang melakukan tugas konseling. Kekhasan peserta didik harus menjadi pertimbangan utama, yaitu adanya perbedaan budaya, yang itu terlihat dalam kesadaran, kepekaan dan lainnya. Konselor dituntut LEBIH peka dalam melaksanakan tugas konseling. Intinya pemahaman akan karakteristik peserta didik secara individu sangat penting dalam sukses tidaknya konseling.
PENUTUP
Persoalan di lapangan adalah, kesulitan yang dihadapi oleh guru dan konseling. Ini disebabkan karena mereka ( guru dan konseling ) SUDAH TERBIASA DAN TIDAK PEKA SERTA TIDAK SADAR. Hal itu disebabkan karena pola pengajaran yang dilaksanakan selama ini pola lama yaitu lebih melihat anak secara kelompok, jarang memperhatikan peserta didik sebagai individu yang memiliki perbedaan.
Seorang guru-konselor, umumnya merasa DIALAH yang menjadi pusat dari solusi. Padahal pengajaran dan konseling yang baik dan efektif adalah dilakukan dengan kesetaraan dan bahkan menjadikan peserta didik sebagai pusat perhatian. Segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh guru-konselor adalah DEMI, KARENA dan UNTUK anak. Guru merasa dirinya paling tahu dan benar baik pendapatnya, pikirannya termasuk nilai budayanya. Pokoknya guru seperti bunyi ungkapan yaitu : “ FATHER KNOWS BEST “.
Dengan pandangan seperti itu, maka guru mempunyai tugas *“ MENANAMKAN"*tentang pengetahuan-pengertian dan nilai budaya kepada peserta didik. Misalnya ibu kota Jawa Timur adalah Surabaya, 3 X 3 = 9, merokok itu jelek, peserta didik harus rajin belajar untuk lulus dengan nilai yang baik, perempuan bicaranya harus lemah lembut dll. Disamping itu terdapat pula nilai moral agama, misalnya agama ( keimanan dan ketaqwaan, menghormati orang tua dan guru, saling menasehati, menjaga silaturrahim dll ).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa nilai ( values ) adalah "sesuatu yang berkaitan dengan baik-buruk, pantas-tidak pantas, patut-tidak patut, dikehendaki-tidak dikehendaki—menurut pandangan dan penilaian orang banyak atau masyarakat umum “. Cara-cara IMPOSISI dengan menanamkan pelajaran secara paksaan kepada peserta didik, harus tunduk atau menerima apapun yang dikatakan oleh guru-konselor tidak akan menghasilkan pembelajaran bermakna dan bahkan membuat peserta didik takut dan bahkan benci dan dendam. Yang hal itu akan berakibat pada : Penjinakan (domestication ) bukan pemberdayaan ( empowerment) dan melanggar kode etik. Dalam kode etik guru-konselor tidak dibenarkan memaksakan nilai ( values ) pribadi kepada peserta didik
Dengan demikian apabila guru – konselor memaksakan pendapat-pandangan-nilai pribadi kepada peserta didik itu merupakan pelanggaran kode etik guru-konselor.
Tidak ada cara lain yang harus dilakukan oleh guru-konselor dalam proses pembelajaran dan bimbingan, kecuali guru-konselor HARUS SELALU belajar menambah ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Termasuk yang lebih penting adalah menguasai psikologi pendidikan dan anak. Karena anak itu khas dan unik, maka kadangkala ilmu yang diperoleh guru di kampus sewaktu kuliah di perguruan tinggi tidak relevan ( tidak ada artinya ). Karena situasi-kondisi dan lingkungan peserta didik yang berbeda. Tentunya inovasi harus terus dilakukan, agar pembelajaran dan konseling yang dilakukan dapat efektif dan pesan yang disampaikan guru-konselor terserap dengan baik oleh peserta didik.
Apalagi sekarang ini, tantangan guru-konselor semakin berat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik dapat memperoleh informasi bukan hanya dari guru-konselor, melainkan dari internet. Jadi sekali lagi guru-konselor harus merubah paradigma dari manusia yang serba tahu dan benar menjadi manusia yang dengan penuh kesabaran MAU mendengarkan anekaragam pendapat peserta didik tentang suatu persoalan sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Tugas guru-konselor bukan lagi menanamkan ( memaksa ) akan tetapi memfasilitasi dan mengarahkan untuk tumbuh dan berkembangnya daya nalar dan pikir peserta didik guna mencari dan menemukan solusi dari persoalan yang dihadapi. Apabila guru-konselor mampu melakukan itu semua ( merubah paradigma ), maka tugas pembelajaran menjadi efektif dan akan lahir manusia-manusia yang berkarakter, bertanggungjawab, mandiri dan saling menghormati. Semoga pendidikan kita semakin mampu mengembangkan potensi anak bangsa menuju Indonesia bermartabat. 📚
Tidak ada komentar:
Posting Komentar