Oleh : Washil Bahalwan
Kota Surabaya adalah
kota yang ‘dihiasi’ bangunan peninggalan bersejarah. Banyak ditemukan bangunan
peninggalan Kolonial Belanda di kota ini, baik yang sudah direvitalisasi maupun
yang masih terbengkalai.
Salah satu peninggalan
Kolonial Belanda yang memiliki sejarah tentang tahanan adalah Penjara
Kalisosok. Banyak cerita muncul dari balik dinding penjara yang memiliki
penjara bawah tanah ini.
Dasar tulisan ini
adalah dokumen pribadi berupa kliping dari harian Radar Surabaya edisi Kamis, 3
Mei 2001 (17 tahun yang silam) koleksi Dukut Imam Widodo, juga hasil
investigasi tentang seluk beluk penjara Kalisosok. Untuk mendapatkan gambaran
penjara Kalisosok selengkapnya, marilah kita ikuti edisi berikut ini.
Penjara ini dibangun
pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 yang bernama
Herman Willem Daendels. Pembangunan dilaksanakan pada 1 September 1808 dengan
memakan biaya 8.000 Gulden. Nama Kalisosok diambil dari nama sebuah daerah di
Surabaya Utara, tepatnya berada di sebelah utara Jalan Rajawali dan Kembang
Jepun.
Para napi mendapat
sebutan bermacam-macam, yaitu mulut orang pribumi menyebut napi itu “paresan”,
tetapi ada juga yang menyebutnya “orang rantaian”. Karena kaki tangan mereka
dirantai. Itu masih belum seberapa begitu tiba di dalam sel, pada ujung rantai diberi
bandul bola besi! Kalau sudah begini, bagaimana mungkin mereka bisa lari ?
Dalam sebuah laporan
resmi tertulis: “Dat de lange detentie in het blok binnen de gevangenis veel
beenzweren veroorzaakt“. Lantaran terlalu lama dipasung, dengan rantai yang
diberi bandul besi, maka banyak napi yang kakinya meninggalkan borok
menjijikkan. Begitu dalam luka yang ditimbulkan akibat cengkeraman besi itu,
sehingga tak jarang tulang kaki si pesakitan itu nampak, hiiiii!
Di penjara itu para
napi digolongkan sebagai “crimineel gedetineerden” (tahanan kriminil), “civiele
gevangenen” (tahanan sipil), dan “slaven” (budak), serta para pemberontak
tentunya (pemberontak versi kolonial).
Para bangsawan pribumi
yang membangkang setelah dijebloskan di Kalisosok selama beberapa waktu,
biasanya mereka dibuang di “Kaap de Goede Hoop” (Tanjung Harapan Baik) di ujung
Selatan benua Afrika. Akan tetapi dalam sebuah laporan disebutkan juga,
lantaran di Surabaya belum ada “Gekkenhuis” (Rumah Sakit Jiwa), maka
orang-orang yang stres pun dititipkan di Kalisosok.
Kesehatan para napi di
Kalisosok umumnya buruk. Penyakit kudis dan “katimumul” merajalela. Adalah
“Standsverband” atau Balai Pengobatan yang bertanggung jawab urusan kesehatan
dan kebersihan para napi. Tetapi jangan tanya soal itu. Sebab masalah kesehatan
dan kebersihan di Kalisosok sangat payah. Angka kematian yang tinggi lantaran
sakit di penjara itu sudah menjadi indikasi betapa jeleknya penanganan
kesehatan. Penyakit favorit yang seringkali merenggut nyawa para napi adalah
kolera, pes serta demam tropis, sebuah nama penyakit yang tidak ada namanya
dalam ilmu kedokteran.
Siapa pun yang
dijebloskan di Kalisosok, memang sudah diprogram untuk dirusak fisik dan
mentalnya. Pada zaman Kolonial Belanda Penjara Kalisosok dipasang patung Dewi
Keadilan Yustitia yang menggambarkan bahwa penjara ini menjalankan keadilan dan
kebenaran, tapi sebenarnya keadilan dan kebenaran di tempat ini sudah tidak
ada.
“Kalisosok no good for
no body!”. Tulis seorang Jack Tar (sebutan bagi kelasi Inggris), yang pernah
dijebloskan di penjara itu. Omong kosong jika pemerintah (Hindia Belanda) pada
waktu itu mengatakan bahwa di penjara itu para napi akan dibina akhlaknya.
Sebab pada kenyataannya, bila dulu ia seorang maling teri, begitu keluar dari
Kalisosok ia akan menjadi begal. Bila ia sebelumnya seorang perampok, maka
sekeluarnya dari penjara itu ia akan menjadi kepalanya perampok.
Kalisosok adalah
penjara yang kekar. Di dalamnya juga terdapat “kerkje”, sebutan untuk gereja
kecil. Juga ada sekolahan yang disebut “Compagniesschool”, tempat para napi
diajari memintal goni, menganyam bambu dan tali oepet. “Straf” (hukuman)
seperti dicambuk, diselar atau dirantai dan dijemur di “Binnenplaats” (halaman
dalam), adalah pemandangan sehari-hari yang terjadi dua abad yang lalu. Jika
ada petinggi yang mengadakan peninjauan ke Kalisosok, akan disuguhi pertunjukan
seperti itu. Para sipir menunjukkan kemahirannya mencambuk punggung napi.
Tetapi pejabat tidak mau kalah. Ia pun memberi contoh pada para sipir, tentang bagaimana
mencambuk yang benar.
“Vader Driesprong”, adalah
sebutan bagi cambuk yang ujungnya bercabang tiga. Pertunjukan “Vader
Driesprong” adalah yang paling digemari para petinggi. Suatu kehormatan bagi
mereka jika diberi kesempatan mempertunjukkan kebolehannya mencambuk punggung
napi dengan menggunakan “Vader Driesprong”.
Untuk hukuman mati tempo
doeloe, dilaksanakan dengan cara memenggal leher si terhukum dengan pisau
“guillotine”, dengan alasan untuk memperlembut proses lepasnya nyawa si napi.
Tetapi cara ini sudah kuno, dan lama-lama ditinggalkan juga.
Akhirnya pelaksanaan
hukuman mati dilaksanakan dengan cara menggantung si napi sampai mati. Sebab
cara ini (menggantung) adalah cara terbaik dan lebih manusiawi. Untuk pekerjaan
yang satu ini “de Beul”, si algojo adalah orang-orang dari Afrika yang berkulit
hitam dan berbadan kekar. Sedang orang pribumi tidak ada yang mau jadi algojo.
Tidak semua penghuni
Kalisosok adalah anak negeri. Napi bangsa asing ada juga yang pernah menjadi
penghuninya. Hukum “siapa yang kuat, dialah yang menang” juga berlaku di
penjara itu. Karena itu napi yang jagoan akan menjadi pelindung bagi napi yang
tergolong kaya raya.
Napi yang kaya pun
malah bisa menggaji para sipir. Dengan bayaran tertentu, para napi kaya ini
bisa tinggal di “cipierswoningen” (barak sipir). Atau jalan-jalan sebentar di
pesisir sepanjang Kalimas dekat Pelabuhan Odjoeng. Praktik suap menyuap semacam
ini sudah menjadi rahasia umum sejak dulu.
“Waterkasteel” atau
istana air adalah sel khusus bagi napi tertentu. Sel itu biasa saja, namun yang
membedakannya dengan sel lain karena lantai “waterkasteel” sengaja digenangi
air dan diberi ratusan lintah!
“Vermaken”, arti
harfiahnya dalam bahasa Belanda adalah mengubah. Seperti yang kita lihat di
plaza-plaza, apalagi di dekat toko jeans terdapat orang yang menjual “Vermak
Celana Jean”. Akan tetapi di Kalisosok Tempo Doeloe, sangat lain artinya. Bila
ada napi baru dan suka berlagak, maka sudah dapat dipastikan ia akan di-vermak
(dihajar) habis-habisan oleh napi yang lain.
Puskesmas tempo doeloe
disebut “Standsverband”. Bagian ini dikepalai oleh “ziekenvader” atau perawat
utama. Ia dibantu oleh “praktizijn” semacam perawat serta ahli pengobatan yang
disebut “medicus”. Mereka semuanya bukanlah ahli dalam bidangnya, jadi asal
comot saja.
Begitu jam menunjukkan
angka 8, “ziekenvader” disertai “praktizijn” serta “medicus” mendatangi sel-sel
tertentu saja. Para napi sudah berdiri berjajar-jajar dibalik terali besi
sambil menjulurkan lidahnya.
Jika si napi
menjulurkan lidahnya kurang panjang, maka “ziekenvader” itu tidak segan-segan
membetot lidah itu keluar. Dengan tongkat kecilnya, “ziekenvader” membola-balik
lidah itu, sebelum menentukan diagnosa. Si “medicus” menulis dalam batu tulis
(sabak), nama si napi berikut penyakitnya, serta obat apa yang pas untuknya.
Sementara si
“praktizijn” manggut-manggut seolah membenarkan segala ucapan yang meluncur
dari mulut “ziekenvader”. Lantas muncullah sindiran “ziekenvader” itu hebat.
Hanya dengan membolak-balikan lidah saja ia sudah bisa menentukan penyakit si
napi. Yang paling konyol adalah sindiran seperti ini “tolong dilihat, apakah
lidahnya masih ada ?”
Apabila sel-sel
bertirai besi, rantai-rantai yang melilit kaki mereka, serta tembok-tembok
kekar itu semua bisa berbicara, tentu jutaan kisah mengharukan akan terpapar
dari Kalisosok. Sayang benda-benda itu tak lebih saksi-saksi bisu belaka.
Dari cerita tentang
penjara Kalisosok, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita generasi
muda bangsa. Yaitu:
Keadilan dari dulu
sampai sekarang, masih menjadi milik mereka yang bermodal. Dengan modal yang
dimiliki, mereka (pemodal) dapat membeli keadilan dan kebenaran.
Sisi negatif dari
penjara adalah bukan menghentikan kejahatan, tetapi secara tidak langsung menjadi
tempat meningkatkan skil kejahatan. Itu terjadi karena penjara tidak
menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.
Dalam urusan kesehatan,
Penjara Kalisosok tempo doeloe di zaman Kolonial Belanda tidak profesional dan
juga tidak manusiawi. Hal itu dibuktikan dengan tenaga kesehatan yang dipilih
tidak kompeten (asal comot), padahal itu berbahaya karena berkaitan dengan hak
penghuni lapas untuk mendapat layanan kesehatan dengan baik.
Seiring perjalanan
waktu Penjara Kalisosok pun sempat mengalami perubahan nama menjadi Lembaga
Permasyarakatan (Lapas) Kelas I Surabaya, atau yang lebih dikenal dengan Lapas
Kalisosok. Sampai akhirnya pada tahun 2000 Lapas ini mulai
dikosongkan/dipindahkan.
Demikian sekilas cerita
Penjara Kalisosok tempo doeloe di zaman Kolonial Belanda yang sekarang tinggal
kerangka bangunannya saja. Sangat disayangkan dan perlu perhatian serius dari
yang berkompeten untuk mengawasinya. Pemerintah harus benar-benar mengamankan
gedung yang bernilai sejarah ini. Sebab kalau dirawat dengan baik dapat
dijadikan tempat wisata.
*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya
dan Pemerhati Sosial.
*Tulisan
ini juga dimuat di suaramuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar