Rabu, 04 Maret 2020

SOERABAIA TEMPO DOELOE “PENJARA KALISOSOK“


Oleh : Washil Bahalwan


Kota Surabaya adalah kota yang ‘dihiasi’ bangunan peninggalan bersejarah. Banyak ditemukan bangunan peninggalan Kolonial Belanda di kota ini, baik yang sudah direvitalisasi maupun yang masih terbengkalai.

Salah satu peninggalan Kolonial Belanda yang memiliki sejarah tentang tahanan adalah Penjara Kalisosok. Banyak cerita muncul dari balik dinding penjara yang memiliki penjara bawah tanah ini.



Dasar tulisan ini adalah dokumen pribadi berupa kliping dari harian Radar Surabaya edisi Kamis, 3 Mei 2001 (17 tahun yang silam) koleksi Dukut Imam Widodo, juga hasil investigasi tentang seluk beluk penjara Kalisosok. Untuk mendapatkan gambaran penjara Kalisosok selengkapnya, marilah kita ikuti edisi berikut ini.

Penjara ini dibangun pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 yang bernama Herman Willem Daendels. Pembangunan dilaksanakan pada 1 September 1808 dengan memakan biaya 8.000 Gulden. Nama Kalisosok diambil dari nama sebuah daerah di Surabaya Utara, tepatnya berada di sebelah utara Jalan Rajawali dan Kembang Jepun.

Para napi mendapat sebutan bermacam-macam, yaitu mulut orang pribumi menyebut napi itu “paresan”, tetapi ada juga yang menyebutnya “orang rantaian”. Karena kaki tangan mereka dirantai. Itu masih belum seberapa begitu tiba di dalam sel, pada ujung rantai diberi bandul bola besi! Kalau sudah begini, bagaimana mungkin mereka bisa lari ?

Dalam sebuah laporan resmi tertulis: “Dat de lange detentie in het blok binnen de gevangenis veel beenzweren veroorzaakt“. Lantaran terlalu lama dipasung, dengan rantai yang diberi bandul besi, maka banyak napi yang kakinya meninggalkan borok menjijikkan. Begitu dalam luka yang ditimbulkan akibat cengkeraman besi itu, sehingga tak jarang tulang kaki si pesakitan itu nampak, hiiiii!

Di penjara itu para napi digolongkan sebagai “crimineel gedetineerden” (tahanan kriminil), “civiele gevangenen” (tahanan sipil), dan “slaven” (budak), serta para pemberontak tentunya (pemberontak versi kolonial).

Para bangsawan pribumi yang membangkang setelah dijebloskan di Kalisosok selama beberapa waktu, biasanya mereka dibuang di “Kaap de Goede Hoop” (Tanjung Harapan Baik) di ujung Selatan benua Afrika. Akan tetapi dalam sebuah laporan disebutkan juga, lantaran di Surabaya belum ada “Gekkenhuis” (Rumah Sakit Jiwa), maka orang-orang yang stres pun dititipkan di Kalisosok.

Kesehatan para napi di Kalisosok umumnya buruk. Penyakit kudis dan “katimumul” merajalela. Adalah “Standsverband” atau Balai Pengobatan yang bertanggung jawab urusan kesehatan dan kebersihan para napi. Tetapi jangan tanya soal itu. Sebab masalah kesehatan dan kebersihan di Kalisosok sangat payah. Angka kematian yang tinggi lantaran sakit di penjara itu sudah menjadi indikasi betapa jeleknya penanganan kesehatan. Penyakit favorit yang seringkali merenggut nyawa para napi adalah kolera, pes serta demam tropis, sebuah nama penyakit yang tidak ada namanya dalam ilmu kedokteran.

Siapa pun yang dijebloskan di Kalisosok, memang sudah diprogram untuk dirusak fisik dan mentalnya. Pada zaman Kolonial Belanda Penjara Kalisosok dipasang patung Dewi Keadilan Yustitia yang menggambarkan bahwa penjara ini menjalankan keadilan dan kebenaran, tapi sebenarnya keadilan dan kebenaran di tempat ini sudah tidak ada.

“Kalisosok no good for no body!”. Tulis seorang Jack Tar (sebutan bagi kelasi Inggris), yang pernah dijebloskan di penjara itu. Omong kosong jika pemerintah (Hindia Belanda) pada waktu itu mengatakan bahwa di penjara itu para napi akan dibina akhlaknya. Sebab pada kenyataannya, bila dulu ia seorang maling teri, begitu keluar dari Kalisosok ia akan menjadi begal. Bila ia sebelumnya seorang perampok, maka sekeluarnya dari penjara itu ia akan menjadi kepalanya perampok.

Kalisosok adalah penjara yang kekar. Di dalamnya juga terdapat “kerkje”, sebutan untuk gereja kecil. Juga ada sekolahan yang disebut “Compagniesschool”, tempat para napi diajari memintal goni, menganyam bambu dan tali oepet. “Straf” (hukuman) seperti dicambuk, diselar atau dirantai dan dijemur di “Binnenplaats” (halaman dalam), adalah pemandangan sehari-hari yang terjadi dua abad yang lalu. Jika ada petinggi yang mengadakan peninjauan ke Kalisosok, akan disuguhi pertunjukan seperti itu. Para sipir menunjukkan kemahirannya mencambuk punggung napi. Tetapi pejabat tidak mau kalah. Ia pun memberi contoh pada para sipir, tentang bagaimana mencambuk yang benar.

“Vader Driesprong”, adalah sebutan bagi cambuk yang ujungnya bercabang tiga. Pertunjukan “Vader Driesprong” adalah yang paling digemari para petinggi. Suatu kehormatan bagi mereka jika diberi kesempatan mempertunjukkan kebolehannya mencambuk punggung napi dengan menggunakan “Vader Driesprong”.

Untuk hukuman mati tempo doeloe, dilaksanakan dengan cara memenggal leher si terhukum dengan pisau “guillotine”, dengan alasan untuk memperlembut proses lepasnya nyawa si napi. Tetapi cara ini sudah kuno, dan lama-lama ditinggalkan juga.

Akhirnya pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dengan cara menggantung si napi sampai mati. Sebab cara ini (menggantung) adalah cara terbaik dan lebih manusiawi. Untuk pekerjaan yang satu ini “de Beul”, si algojo adalah orang-orang dari Afrika yang berkulit hitam dan berbadan kekar. Sedang orang pribumi tidak ada yang mau jadi algojo.

Tidak semua penghuni Kalisosok adalah anak negeri. Napi bangsa asing ada juga yang pernah menjadi penghuninya. Hukum “siapa yang kuat, dialah yang menang” juga berlaku di penjara itu. Karena itu napi yang jagoan akan menjadi pelindung bagi napi yang tergolong kaya raya.

Napi yang kaya pun malah bisa menggaji para sipir. Dengan bayaran tertentu, para napi kaya ini bisa tinggal di “cipierswoningen” (barak sipir). Atau jalan-jalan sebentar di pesisir sepanjang Kalimas dekat Pelabuhan Odjoeng. Praktik suap menyuap semacam ini sudah menjadi rahasia umum sejak dulu.

“Waterkasteel” atau istana air adalah sel khusus bagi napi tertentu. Sel itu biasa saja, namun yang membedakannya dengan sel lain karena lantai “waterkasteel” sengaja digenangi air dan diberi ratusan lintah!

“Vermaken”, arti harfiahnya dalam bahasa Belanda adalah mengubah. Seperti yang kita lihat di plaza-plaza, apalagi di dekat toko jeans terdapat orang yang menjual “Vermak Celana Jean”. Akan tetapi di Kalisosok Tempo Doeloe, sangat lain artinya. Bila ada napi baru dan suka berlagak, maka sudah dapat dipastikan ia akan di-vermak (dihajar) habis-habisan oleh napi yang lain.

Puskesmas tempo doeloe disebut “Standsverband”. Bagian ini dikepalai oleh “ziekenvader” atau perawat utama. Ia dibantu oleh “praktizijn” semacam perawat serta ahli pengobatan yang disebut “medicus”. Mereka semuanya bukanlah ahli dalam bidangnya, jadi asal comot saja.

Begitu jam menunjukkan angka 8, “ziekenvader” disertai “praktizijn” serta “medicus” mendatangi sel-sel tertentu saja. Para napi sudah berdiri berjajar-jajar dibalik terali besi sambil menjulurkan lidahnya.

Jika si napi menjulurkan lidahnya kurang panjang, maka “ziekenvader” itu tidak segan-segan membetot lidah itu keluar. Dengan tongkat kecilnya, “ziekenvader” membola-balik lidah itu, sebelum menentukan diagnosa. Si “medicus” menulis dalam batu tulis (sabak), nama si napi berikut penyakitnya, serta obat apa yang pas untuknya.

Sementara si “praktizijn” manggut-manggut seolah membenarkan segala ucapan yang meluncur dari mulut “ziekenvader”. Lantas muncullah sindiran “ziekenvader” itu hebat. Hanya dengan membolak-balikan lidah saja ia sudah bisa menentukan penyakit si napi. Yang paling konyol adalah sindiran seperti ini “tolong dilihat, apakah lidahnya masih ada ?”

Apabila sel-sel bertirai besi, rantai-rantai yang melilit kaki mereka, serta tembok-tembok kekar itu semua bisa berbicara, tentu jutaan kisah mengharukan akan terpapar dari Kalisosok. Sayang benda-benda itu tak lebih saksi-saksi bisu belaka.

Dari cerita tentang penjara Kalisosok, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita generasi muda bangsa. Yaitu:
Keadilan dari dulu sampai sekarang, masih menjadi milik mereka yang bermodal. Dengan modal yang dimiliki, mereka (pemodal) dapat membeli keadilan dan kebenaran.

Sisi negatif dari penjara adalah bukan menghentikan kejahatan, tetapi secara tidak langsung menjadi tempat meningkatkan skil kejahatan. Itu terjadi karena penjara tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.

Dalam urusan kesehatan, Penjara Kalisosok tempo doeloe di zaman Kolonial Belanda tidak profesional dan juga tidak manusiawi. Hal itu dibuktikan dengan tenaga kesehatan yang dipilih tidak kompeten (asal comot), padahal itu berbahaya karena berkaitan dengan hak penghuni lapas untuk mendapat layanan kesehatan dengan baik.

Seiring perjalanan waktu Penjara Kalisosok pun sempat mengalami perubahan nama menjadi Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas I Surabaya, atau yang lebih dikenal dengan Lapas Kalisosok. Sampai akhirnya pada tahun 2000 Lapas ini mulai dikosongkan/dipindahkan.

Demikian sekilas cerita Penjara Kalisosok tempo doeloe di zaman Kolonial Belanda yang sekarang tinggal kerangka bangunannya saja. Sangat disayangkan dan perlu perhatian serius dari yang berkompeten untuk mengawasinya. Pemerintah harus benar-benar mengamankan gedung yang bernilai sejarah ini. Sebab kalau dirawat dengan baik dapat dijadikan tempat wisata.

*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya dan Pemerhati Sosial.

*Tulisan ini juga dimuat di suaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar