Oleh : Washil Bahalwan
Selain dikenal sebagai
kota pahlawan, Surabaya juga mendapat sebutan sebagai kota INDAH MARDI
(Industri Perdagangan Maritim dan Pendidikan). Sebagai kota perdagangan, maka
sudah barang tentu ada beberapa tempat perdagangan yang sangat melegenda dan
menjadi rujukan bagi pedagang untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka bukan hanya
pedagang dari Surabaya, tapi juga dari luar pulau, misalnya Papua, Maluku,
Sulawesi, Kalimantan dan lainnya. Hal itu disebabkan karena letak Surabaya yang
dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak, sehingga memudahkan para pedagang
mengangkut barang dagangannya dalam jumlah yang besar.
Nah pada edisi kedua ini, penulis akan mengangkat
pasar-pasar legendaris di Surabaya, dengan harapan warga kota
Surabaya khususnya maupun masyarakat Indonesia mengetahui sepak terjang pasar
di Surabaya dalam menggerakkan denyut nadi perekonomian. Berikut ini profil
pasar legendaris selengkapnya.
PASAR BONG
Ketika mendengar nama “Pasar Bong“, pasti
bayangan kita adalah pasar yang terletak di kawasan perkampungan masyarakat
Tionghoa. Bayangan tersebut tidaklah keliru. Karena lokasi Pasar Bong berada di
Jl. Slompretan (Chinese Bree Straat) dekat dengan Jl. Kembang Jepun yang memang
masuk kawasan perdagangan dari dahulu sampai sekarang. Di samping itu, juga
dekat dengan kawasan Ampel, tempat penyebaran agama Islam pertama kali oleh
Raden Rahmatullah yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Pada kesempatan ini penulis menampilkan Pasar
Bong tempo dulu dari dokumen pribadi berupa kliping harian Radar Surabaya edisi
Senin 3 September 2001. Dahulu kala Pasar Bong yang berada di “Chinese Bree
Straat” (Jl. Slompretan) sebelum perang dunia kedua dikenal sebagai pusat
penjualan segala macam burung dan aneka jenis binatang peliharaan rumah
(huisdieren).
Bahkan seiring dengan
perkembangan zaman di kawasan ini dikenal dengan pusat penjualan tekstil dan
bahan kain. Di kawasan Pasar Bong inilah banyak ruko dengan tiang benderanya
milik warga Tionghoa dan tempat lalu lalang orang di sepanjang “Chinese Bree
Straat”. Dan juga dijumpai di ujung jalan berupa menara seperti antena radio,
adalah tiang listrik milik “Algemene Nederlansche Indische Electriciteit Mij”
(ANIEM/PLN Belanda).
Sampai saat ini Pasar
Bong merupakan salah satu ikon pasar di Surabaya. Apabila kita hendak mencari
kebutuhan aneka macam tekstil, bahan kain, termasuk oleh-oleh haji (sajadah,
tasbih, kurma, mukena, sarung dll), dengan mudah kita dapatkan di sini.
Sehingga tidaklah keliru para pedagang menjadikan Pasar Bong sebagai jujugan
untuk memenuhi kebutuhannya.
Mengapa pembeli
menjadikan Pasar Bong sebagai tujuan utama untuk memenuhi kebutuhannya?
Ternyata, menurut pembeli, harga barang kebutuhan di Pasar Bong “miring“.
Artinya lebih murah, bila dibandingkan dengan tempat lain. Di samping itu
pilihan barangnya banyak. Sehingga pedagang merasa puas. Pasar Bong termasuk
pasar grosir (partai). Sehingga sering kita mendengar dari para penjual barang,
ketika ada pembeli datang ke standnya adalah, “Ambil berapa kodi“?
Pasar Bong tidak terlalu luas
alias sempit. Oleh karena itu, situasi dan kondisinya penuh sesak dengan para
pembeli yang lalu lalang untuk memilih barang-barang dagangannya. Ramainya
Pasar Bong tidak mengenal hari. Jam bukanya mulai pukul 08.00 – 17.00.
Pemandangan yang sering kita jumpai adalah “minggir dulu, tunggu mau lewat!,
Karena jalan sempit“. Itu adalah teriakan para pegawai yang memindahkan barang
dari stand ke luar untuk selanjutnya dibawa oleh pembeli. Keberadaan Pasar
Bong, dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah. Arsitekturnya bergaya
Tiongkok dan walaupun banyak tempat perkulakan berdiri di Surabaya, namun Pasar
Bong tetap mendapat tempat di hati para pedagang.
PASAR PABEAN
Jembatan Merah, merupakan salah satu saksi
sejarah. Tidak jauh dari Jembatan Merah, kita dapat menjumpai pasar lain, yang
juga menjadi jujugan pedagang untuk memenuhi kebutuhannya. Pasar yang dimaksud
adalah “Pasar Pabean“. Berdasarkan data yang ada Pasar Pabean berdiri pada
tahun 1849, dengan alamat di Jl. Songoyudan Surabaya (merupakan kawasan
Pecinan) yang berbatasan dengan Jl. KH Mas Mansyur (dahulu namanya
Kampementstraat, kawasan Arab).
Sejak dulu Pasar Pabean merupakan pusat
perkulakan rempah-rempah, dan bumbu dapur, sekarang menjadi pusat ikan asin.
Pasar Pabean merupakan pusat rempah-rempah, karena letaknya dekat dengan
Pelabuhan Kalimas yang hilir mudik mengangkut rempah-rempah. Walaupun banyak
tempat perkulakan berdiri di Surabaya, Pasar Pabean tetap eksis sampai
sekarang. Yang menjadi andalannya adalah harga barangnya lebih murah bila
dibandingkan dengan tempat lain. Di samping itu kualitas barang menjadi
prioritas penjual. Sehingga keberadaan Pasar Pabean tetap menjadi simpul
perekonomian di Surabaya.
Mengenai rempah-rempah
banyak dibutuhkan orang untuk keperluan obat-obatan (jamu) juga untuk campuran
masakan. Sedang aneka ragam bumbu dapur juga dapat kita jumpai di Pasar Pabean.
Bawang merah, bawang putih, bawang bombay dan lombok merah dengan mudah dapat
kita jumpai di Pasar Pabean dengan kondisi yang masih segar. Sehingga kandungan
gizinya masih bagus. Pengaturan lorong dalam pasar pun dibuat menurut jenis
barang yang dijual. Ada lorong bawang, ada lorong rempah-rempah dan ada juga
lorong lombok merah dan lainnya.
Bahkan seiring dengan
perkembangan zaman, Pasar Pabean juga menjadi tempat penjualan ikan segar, baik
ikan laut maupun air tawar. Ikan-ikan tersebut mulai berdatangan sekitar jam
12.00 siang. Jadi pada jam itu (12.00) sampai Isya’ bahkan lebih, sepanjang
jalan Panggung pasti macet. Karena truk/mobil pick up yang mengangkut ikan menurunkan
muatannya di tepi jalan.
Oleh karena itu apabila
kita ingin menuju Kembang Jepun atau JMP, dari arah Mas Mansyur lebih baik cari
alternatif jalan lain, agar tidak terjebak macet. Apabila kita ingin
mendapatkan ikan laut dan air tawar segar, maka pasar Pabean lah tempatnya.
Makanya jalan di sekitar Pasar Pabean (Panggung) sering rusak, karena hampir
setiap hari dilewati truk/pick up dengan muatan yang melebihi kapasitas.
Teriakan, para manol
(tukang pikul tong yang berisi ikan) yaitu “awase-awase“, sering kita lihat dan
dengar. Bahkan ada cerita menarik. Apabila kita memikul atau nyuwun (mengangkat
ikan dalam bak yang diletakkan di kepala dan biasanya oleh perempuan), ada ikan
yang jatuh, maka tidak boleh diambil. Karena hitung-hitung untuk sedekah.
Rata-rata pembeli ikan adalah para tengkulak yang selanjutnya dijual lagi. Ada
juga yang untuk dikonsumsi sendiri.
Keberadaan Pasar
Pabean, mampu membangkitkan penghasilan masyarakat yang ada di sekitarnya
dengan membuka warung nasi, warung kopi dll. Bahkan Pemerintah Kota Surabaya
menetapkan Pasar Pabean sebagai salah satu “cagar budaya“ yang harus
dilestarikan baik struktur bangunan maupun ornamen lainnya.
Dari sekilas uraian
tentang pasar legendaris di Surabaya.
Pemerintah perlu merestrukturisasi dengan tidak merubah bentuk aslinya. Perlu
penataan lebih baik lagi.
Semoga semua pihak
(warga kota dan pemerintah) saling bersinergi untuk menjadikan pasar sebagai
pelaku ekonomi kerakyatan, guna mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan
sejahtera. Sebaiknya kita belanja ke pasar tradisional, karena disitulah
kekuatan ekonomi bangsa yang sebenarnya sekaligus untuk melestarikan ikon
Surabaya.
*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya
dan Pemerhati Sosial.
*Tulisan
ini juga dimuat di suaramuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar