Rabu, 04 Maret 2020

SOERABAIA TEMPO DOELOE, PASAR LEGENDARIS SOERABAIA


Oleh : Washil Bahalwan


Selain dikenal sebagai kota pahlawan, Surabaya juga mendapat sebutan sebagai kota INDAH MARDI (Industri Perdagangan Maritim dan Pendidikan). Sebagai kota perdagangan, maka sudah barang tentu ada beberapa tempat perdagangan yang sangat melegenda dan menjadi rujukan bagi pedagang untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka bukan hanya pedagang dari Surabaya, tapi juga dari luar pulau, misalnya Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan lainnya. Hal itu disebabkan karena letak Surabaya yang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak, sehingga memudahkan para pedagang mengangkut barang dagangannya dalam jumlah yang besar.

Nah pada edisi kedua ini, penulis akan mengangkat pasar-pasar legendaris di Surabaya, dengan harapan warga kota Surabaya khususnya maupun masyarakat Indonesia mengetahui sepak terjang pasar di Surabaya dalam menggerakkan denyut nadi perekonomian. Berikut ini profil pasar legendaris selengkapnya.

 

PASAR BONG

Ketika mendengar nama “Pasar Bong“, pasti bayangan kita adalah pasar yang terletak di kawasan perkampungan masyarakat Tionghoa. Bayangan tersebut tidaklah keliru. Karena lokasi Pasar Bong berada di Jl. Slompretan (Chinese Bree Straat) dekat dengan Jl. Kembang Jepun yang memang masuk kawasan perdagangan dari dahulu sampai sekarang. Di samping itu, juga dekat dengan kawasan Ampel, tempat penyebaran agama Islam pertama kali oleh Raden Rahmatullah yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.

Pada kesempatan ini penulis menampilkan Pasar Bong tempo dulu dari dokumen pribadi berupa kliping harian Radar Surabaya edisi Senin 3 September 2001. Dahulu kala Pasar Bong yang berada di “Chinese Bree Straat” (Jl. Slompretan) sebelum perang dunia kedua dikenal sebagai pusat penjualan segala macam burung dan aneka jenis binatang peliharaan rumah (huisdieren).

Bahkan seiring dengan perkembangan zaman di kawasan ini dikenal dengan pusat penjualan tekstil dan bahan kain. Di kawasan Pasar Bong inilah banyak ruko dengan tiang benderanya milik warga Tionghoa dan tempat lalu lalang orang di sepanjang “Chinese Bree Straat”. Dan juga dijumpai di ujung jalan berupa menara seperti antena radio, adalah tiang listrik milik “Algemene Nederlansche Indische Electriciteit Mij” (ANIEM/PLN Belanda).

Sampai saat ini Pasar Bong merupakan salah satu ikon pasar di Surabaya. Apabila kita hendak mencari kebutuhan aneka macam tekstil, bahan kain, termasuk oleh-oleh haji (sajadah, tasbih, kurma, mukena, sarung dll), dengan mudah kita dapatkan di sini. Sehingga tidaklah keliru para pedagang menjadikan Pasar Bong sebagai jujugan untuk memenuhi kebutuhannya.

Mengapa pembeli menjadikan Pasar Bong sebagai tujuan utama untuk memenuhi kebutuhannya? Ternyata, menurut pembeli, harga barang kebutuhan di Pasar Bong “miring“. Artinya lebih murah, bila dibandingkan dengan tempat lain. Di samping itu pilihan barangnya banyak. Sehingga pedagang merasa puas. Pasar Bong termasuk pasar grosir (partai). Sehingga sering kita mendengar dari para penjual barang, ketika ada pembeli datang ke standnya adalah, “Ambil berapa kodi“?

Pasar Bong tidak terlalu luas alias sempit. Oleh karena itu, situasi dan kondisinya penuh sesak dengan para pembeli yang lalu lalang untuk memilih barang-barang dagangannya. Ramainya Pasar Bong tidak mengenal hari. Jam bukanya mulai pukul 08.00 – 17.00. Pemandangan yang sering kita jumpai adalah “minggir dulu, tunggu mau lewat!, Karena jalan sempit“. Itu adalah teriakan para pegawai yang memindahkan barang dari stand ke luar untuk selanjutnya dibawa oleh pembeli. Keberadaan Pasar Bong, dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah. Arsitekturnya bergaya Tiongkok dan walaupun banyak tempat perkulakan berdiri di Surabaya, namun Pasar Bong tetap mendapat tempat di hati para pedagang.

PASAR PABEAN

Jembatan Merah, merupakan salah satu saksi sejarah. Tidak jauh dari Jembatan Merah, kita dapat menjumpai pasar lain, yang juga menjadi jujugan pedagang untuk memenuhi kebutuhannya. Pasar yang dimaksud adalah “Pasar Pabean“. Berdasarkan data yang ada Pasar Pabean berdiri pada tahun 1849, dengan alamat di Jl. Songoyudan Surabaya (merupakan kawasan Pecinan) yang berbatasan dengan Jl. KH Mas Mansyur (dahulu namanya Kampementstraat, kawasan Arab).

Sejak dulu Pasar Pabean merupakan pusat perkulakan rempah-rempah, dan bumbu dapur, sekarang menjadi pusat ikan asin. Pasar Pabean merupakan pusat rempah-rempah, karena letaknya dekat dengan Pelabuhan Kalimas yang hilir mudik mengangkut rempah-rempah. Walaupun banyak tempat perkulakan berdiri di Surabaya, Pasar Pabean tetap eksis sampai sekarang. Yang menjadi andalannya adalah harga barangnya lebih murah bila dibandingkan dengan tempat lain. Di samping itu kualitas barang menjadi prioritas penjual. Sehingga keberadaan Pasar Pabean tetap menjadi simpul perekonomian di Surabaya.

Mengenai rempah-rempah banyak dibutuhkan orang untuk keperluan obat-obatan (jamu) juga untuk campuran masakan. Sedang aneka ragam bumbu dapur juga dapat kita jumpai di Pasar Pabean. Bawang merah, bawang putih, bawang bombay dan lombok merah dengan mudah dapat kita jumpai di Pasar Pabean dengan kondisi yang masih segar. Sehingga kandungan gizinya masih bagus. Pengaturan lorong dalam pasar pun dibuat menurut jenis barang yang dijual. Ada lorong bawang, ada lorong rempah-rempah dan ada juga lorong lombok merah dan lainnya.

Bahkan seiring dengan perkembangan zaman, Pasar Pabean juga menjadi tempat penjualan ikan segar, baik ikan laut maupun air tawar. Ikan-ikan tersebut mulai berdatangan sekitar jam 12.00 siang. Jadi pada jam itu (12.00) sampai Isya’ bahkan lebih, sepanjang jalan Panggung pasti macet. Karena truk/mobil pick up yang mengangkut ikan menurunkan muatannya di tepi jalan.

Oleh karena itu apabila kita ingin menuju Kembang Jepun atau JMP, dari arah Mas Mansyur lebih baik cari alternatif jalan lain, agar tidak terjebak macet. Apabila kita ingin mendapatkan ikan laut dan air tawar segar, maka pasar Pabean lah tempatnya. Makanya jalan di sekitar Pasar Pabean (Panggung) sering rusak, karena hampir setiap hari dilewati truk/pick up dengan muatan yang melebihi kapasitas.

Teriakan, para manol (tukang pikul tong yang berisi ikan) yaitu “awase-awase“, sering kita lihat dan dengar. Bahkan ada cerita menarik. Apabila kita memikul atau nyuwun (mengangkat ikan dalam bak yang diletakkan di kepala dan biasanya oleh perempuan), ada ikan yang jatuh, maka tidak boleh diambil. Karena hitung-hitung untuk sedekah. Rata-rata pembeli ikan adalah para tengkulak yang selanjutnya dijual lagi. Ada juga yang untuk dikonsumsi sendiri.

Keberadaan Pasar Pabean, mampu membangkitkan penghasilan masyarakat yang ada di sekitarnya dengan membuka warung nasi, warung kopi dll. Bahkan Pemerintah Kota Surabaya menetapkan Pasar Pabean sebagai salah satu “cagar budaya“ yang harus dilestarikan baik struktur bangunan maupun ornamen lainnya.

Dari sekilas uraian tentang pasar legendaris di Surabaya. Pemerintah perlu merestrukturisasi dengan tidak merubah bentuk aslinya. Perlu penataan lebih baik lagi.

Semoga semua pihak (warga kota dan pemerintah) saling bersinergi untuk menjadikan pasar sebagai pelaku ekonomi kerakyatan, guna mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Sebaiknya kita belanja ke pasar tradisional, karena disitulah kekuatan ekonomi bangsa yang sebenarnya sekaligus untuk melestarikan ikon Surabaya.

*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya dan Pemerhati Sosial.

*Tulisan ini juga dimuat di suaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar