Oleh : Washil Bahalwan
Surabaya kaya akan warisan legendaris dari
berbagai aspek dan sudut pandang yang itu semuanya menjadi kewajiban bersama
untuk tetap memelihara dan melestarikannya. Maka pada edisi ini penulis akan
mengungkap hal legendaris lainnya yang juga perlu dan seyogyanya bagi warga
kota Surabaya untuk mengetahui dan mengenalnya.
Sekarang ini, mungkin kita hanya mengenal bus,
truk, pesawat, kapal laut, angkot dan lainnya sebagai alat transportasi. Akan
tetapi jauh sebelumnya di Soerabaia
tempo doeloe, kita juga mengenal alat transportasi yang ikut
menentukan urat nadi perdagangan di Soerabaia.
Nah kali ini akan penulis ceritakan kembali
alat transportasi tempo dulu yang merupakan saksi sejarah terhadap perjalanan
dan dinamika perdagangan Soerabaia tempo doeloe. Alat transportasi itu adalah
Cikar.
Sebagai rujukan adalah dokumen pribadi 17 tahun
yang lalu berupa kliping koleksi tulisan Pak Dukut Imam Widodo yang dimuat di
Radar Surabaya, Kamis, 14 Juni 2001 serta cerita dari berbagai pihak. Kemudian
dari berbagai sumber tadi diceritakan kembali dengan gaya dan model penulis
dengan tidak mengurangi makna aslinya. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak
bersama cerita rakyat Soerabaia tempo
doeloe.
Saisnya
Turun-Temurun, Tidak Ada Rebutan Penumpang
Mungkin generasi Surabaya sekarang mengenal
pelabuhan Surabaya ya Tanjung Perak. Padahal, selain Tanjung Perak, Soerabaia
tempo doeloe memiliki pelabuhan yang sangat terkenal untuk bongkar muat
barang-barang dari dan keluar pulau. Pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan
Kalimas Surabaya.
Ketika pagi menjelang Subuh, di Pelabuhan
Kalimas kita akan menjumpai pemandangan yang sangat menakjubkan. Pemandangan
apakah yang menakjubkan tersebut ?
Ternyata setiap pagi menjelang Subuh di Pelabuhan
Kalimas Soerabaia sudah ada puluhan cikar berjajar-jajar di tepi kali, di
sela-sela truk yang panjang dan kekar menanti muatan. Sementara kapal-kapal
layar yang membawa rotan dan kayu dari Kalimantan nampak bersandar, dimana,
“isi perutnya” yang berupa bahan-bahan material itu dibongkar oleh para kerani
(kuli bongkar muat pelabuhan).
Beberapa waktu kemudian, bahan material itu
sudah berpindah. Ada yang berpindah ke truk-truk dan ada juga yang ke
cikar-cikar. Sungguh ini merupakan pemandangan yang kontradiktif. Antara dua
alat transportasi. Yang satu sudah modern, sedangkan satunya lagi masih kuno.
Cikar adalah alat transportasi untuk mengangkut
barang yang tenaga penariknya adalah lembu (sapi). Sedangkan alat angkut
manusia yang tenaga penariknya kuda, disebut dokar (delman). Yang jelas dua
alat transportasi tersebut (cikar dan dokar) sudah sangat langka di Surabaya
sekarang ini.
Pemandangan Pelabuhan Kalimas dengan jajaran
Cikar dan truk tersebut sudah berlangsung sangat lama, bahkan sudah ratusan
tahun. Hebatnya lagi kata Dukut Imam Widodo, cikar aman dari Polantas, karena
tidak pernah kena tilang. Dukut pun menceritakan percapakannya belasan tahun
lalu dengan Polantas yang bertugas saat itu.
“Nggak mentolo aku, Mas“ (gak tega aku) kata
Pak Polisi yang ada di perempatan Jl. Demak Surabaya. Saya jadi terharu.
Memang, dari Pelabuhan tradisional Kalimas, bahan-bahan material berupa rotan
dan kayu itu kebanyakan diangkut dengan tertatih-tatih ke gudang-gudang yang
ada di sekitar Jl. Demak Surabaya.
Bagaimana tidak nggremet, lha wong cikar dengan
beban 5 meter kubik kayu itu hanya mampu berjalan maksimum 10 Km per jam. Oleh
karena itu ketika lalu lintas sedang ramai, para sais (sopir) cikar itu sering
dicaci maki sama sopir angkot. Karena dianggap sebagai sumber kemacetan. Tetapi
walaupun demikian para sais cikar tadi tetap tersenyum, acuh beybe saja (nggak
ngurus).
Disamping itu cikar juga kadang kala digunakan
untuk mengangkut kelapa, atau kebutuhan pokok lainnya yang akan dikirim ke
Pasar Pabean. Sehingga Nyamplungan dan KH Mas Mansyur tempo dulu juga sering
dilewati cikar untuk mengangkut barang–barang tersebut ke pasar Pabean.
Pelabuhan Kalimas tempo dulu juga ditunjang
dengan Jembatan Petek’an. Karena dengan dicetek jembatan tersebut bisa terbuka
dan saat itulah kapal-kapal layar lewat. Namun sangat disayangkan jembatan
Petek’an sekarang tidak dapat berfungsi lagi sebagaimana dahulu kala.
Ada satu hal yang membuat kita salut dan angkat
topi adalah sais cikar merupakan pekerjaan turun temurun dari generasi ke
generasi berikutnya. Bahkan ada satu keluarga mulai dari mbah buyutnya, ayahnya
sampai anaknya semuanya menjadi sais cikar. Dengan penuh ketekunan, tulus
ikhlas, mereka mengais rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di pelabuhan
tradisional Kalimas Surabaya, jauh sebelum matahari muncul di permukaan bumi.
Nilai-nilai
teladan dari para sais cikar
Menurut Dukut Imam Widodo, ada nilai- nilai
yang perlu kita teladani dari para sais cikar tersebut. Diantaranya adalah:
Ketika adzan subuh dikumandangkan oleh muadzin,
para sais itu bergegas menuju masjid terdekat di sekitar pelabuhan Kalimas
untuk melaksanakan sholat Subuh berjamaah. Satu pemandangan yang luar biasa
dari para sais. Walaupun bekerja keras, mereka tidak melupakan kewajibannya
sebagai seorang muslim untuk tetap melaksanakan sholat. Makanya, wajah para
sais tempo dulu sejuk, bersinar dan tenang.
Para sais di pelabuhan Kalimas tidak ada yang
rebutan sandang pangan. Jangan kita bayangkan, bahwa mereka berteriak-teriak
seperti kernet angkot mencari penumpang. Saling berebut, sama sekali tidak!
Mereka kelihatannya tenang-tenang saja, sebab sudah ada juragan kayu yang menjadi
langganan mereka.
Uniknya, para juragan kayu itupun sudah
berlangsung turun temurun, mulai dari mbah buyutnya sampai cucunya. Jadi boleh
dikatakan antara sais satu dengan lainnya sudah mempunyai pelanggan tetap
sendiri-sendiri. Dan itu berlangsung puluhan tahun secara turun temurun.
Sambil berkelakar, Pak Dukut, demikian biasa
dipanggil, pernah bertanya, apakah ada sais cikar yang naik taraf hidupnya
dengan menjadi juragan kayu? Maka jawaban yang diterima kompak, yaitu
geleng-geleng kepala saja. Itu artinya tidak ada sais cikar yang naik pangkat
menjadi juragan kayu.
Pelabuhan tradisional Kalimas, banyak
dikunjungi oleh turis mancanegara. Hal ini dikarenakan ada daya tarik
tersendiri dari pelabuhan tradisional tersebut. Beberapa hal yang menjadi daya
tarik turis mancanegara berkunjung ke pelabuhan tradisional Kalimas adalah
kapal-kapal sekunar dengan tiang-tiang layarnya yang menjulang, hiruk pikuk
para kerani yang melakukan pekerjaan bongkar muat barang, teriakan para awak
kapal dan ditambah lagi dengan deretan cikar yang sedang istirahat atau
menunggu muatan.
Kesemuanya itu merupakan pemandangan yang
teramat langkah di mata para turis mancanegara. Seandainya deretan cikar itu
tidak ada di sekitar pelabuhan kalimas, maka pelabuhan itu tidak unik dan
menarik lagi karena hilang daya magnetnya.
Bagaimana dengan kondisi pelabuhan Kalimas
sekarang ini? Merupakan tugas bersama warga kota Surabaya khususnya pemkot
Surabaya yaitu Dinas Pariwisata, untuk mengemas potensi pelabuhan Kalimas
sedemikian rupa. Dapat dilakukan dengan cara, memasukkan menjadi salah satu
destinasi wisata Surabaya dengan pembuatan brosur tentang cerita lama pelabuhan
kalimas Surabaya. Atau mungkin juga dapat diadakan even lomba balapan cikar,
adu kreasi menggambar cikar dan masih banyak lainnya yang bisa dilakukan.
Yang penting bagaimana potensi pelabuhan
Kalimas dapat digali lagi lebih dalam dengan penyesuaian di berbagai tempat
dengan tidak meninggalkan bentuk aslinya. Selamat berwisata ke Pelabuhan
tradisional Kalimas Surabaya.
*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya
dan Pemerhati Sosial.
*Tulisan
ini juga dimuat di suaramuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar