Rabu, 04 Maret 2020

SOERABAIA TEMPO DOELOE “CIKAR ALAT TRANSPORTASI TEMPO DOELOE”


Oleh : Washil Bahalwan


Surabaya kaya akan warisan legendaris dari berbagai aspek dan sudut pandang yang itu semuanya menjadi kewajiban bersama untuk tetap memelihara dan melestarikannya. Maka pada edisi ini penulis akan mengungkap hal legendaris lainnya yang juga perlu dan seyogyanya bagi warga kota Surabaya untuk mengetahui dan mengenalnya.


Sekarang ini, mungkin kita hanya mengenal bus, truk, pesawat, kapal laut, angkot dan lainnya sebagai alat transportasi. Akan tetapi jauh sebelumnya di Soerabaia tempo doeloe, kita juga mengenal alat transportasi yang ikut menentukan urat nadi perdagangan di Soerabaia.


Nah kali ini akan penulis ceritakan kembali alat transportasi tempo dulu yang merupakan saksi sejarah terhadap perjalanan dan dinamika perdagangan Soerabaia tempo doeloe. Alat transportasi itu adalah Cikar.


Sebagai rujukan adalah dokumen pribadi 17 tahun yang lalu berupa kliping koleksi tulisan Pak Dukut Imam Widodo yang dimuat di Radar Surabaya, Kamis, 14 Juni 2001 serta cerita dari berbagai pihak. Kemudian dari berbagai sumber tadi diceritakan kembali dengan gaya dan model penulis dengan tidak mengurangi makna aslinya. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak bersama cerita rakyat Soerabaia tempo doeloe.


Saisnya Turun-Temurun, Tidak Ada Rebutan Penumpang


Mungkin generasi Surabaya sekarang mengenal pelabuhan Surabaya ya Tanjung Perak. Padahal, selain Tanjung Perak, Soerabaia tempo doeloe memiliki pelabuhan yang sangat terkenal untuk bongkar muat barang-barang dari dan keluar pulau. Pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Kalimas Surabaya.

Ketika pagi menjelang Subuh, di Pelabuhan Kalimas kita akan menjumpai pemandangan yang sangat menakjubkan. Pemandangan apakah yang menakjubkan tersebut ?


Ternyata setiap pagi menjelang Subuh di Pelabuhan Kalimas Soerabaia sudah ada puluhan cikar berjajar-jajar di tepi kali, di sela-sela truk yang panjang dan kekar menanti muatan. Sementara kapal-kapal layar yang membawa rotan dan kayu dari Kalimantan nampak bersandar, dimana, “isi perutnya” yang berupa bahan-bahan material itu dibongkar oleh para kerani (kuli bongkar muat pelabuhan).


Beberapa waktu kemudian, bahan material itu sudah berpindah. Ada yang berpindah ke truk-truk dan ada juga yang ke cikar-cikar. Sungguh ini merupakan pemandangan yang kontradiktif. Antara dua alat transportasi. Yang satu sudah modern, sedangkan satunya lagi masih kuno.


Cikar adalah alat transportasi untuk mengangkut barang yang tenaga penariknya adalah lembu (sapi). Sedangkan alat angkut manusia yang tenaga penariknya kuda, disebut dokar (delman). Yang jelas dua alat transportasi tersebut (cikar dan dokar) sudah sangat langka di Surabaya sekarang ini.


Pemandangan Pelabuhan Kalimas dengan jajaran Cikar dan truk tersebut sudah berlangsung sangat lama, bahkan sudah ratusan tahun. Hebatnya lagi kata Dukut Imam Widodo, cikar aman dari Polantas, karena tidak pernah kena tilang. Dukut pun menceritakan percapakannya belasan tahun lalu dengan Polantas yang bertugas saat itu.


“Nggak mentolo aku, Mas“ (gak tega aku) kata Pak Polisi yang ada di perempatan Jl. Demak Surabaya. Saya jadi terharu. Memang, dari Pelabuhan tradisional Kalimas, bahan-bahan material berupa rotan dan kayu itu kebanyakan diangkut dengan tertatih-tatih ke gudang-gudang yang ada di sekitar Jl. Demak Surabaya.


Bagaimana tidak nggremet, lha wong cikar dengan beban 5 meter kubik kayu itu hanya mampu berjalan maksimum 10 Km per jam. Oleh karena itu ketika lalu lintas sedang ramai, para sais (sopir) cikar itu sering dicaci maki sama sopir angkot. Karena dianggap sebagai sumber kemacetan. Tetapi walaupun demikian para sais cikar tadi tetap tersenyum, acuh beybe saja (nggak ngurus).


Disamping itu cikar juga kadang kala digunakan untuk mengangkut kelapa, atau kebutuhan pokok lainnya yang akan dikirim ke Pasar Pabean. Sehingga Nyamplungan dan KH Mas Mansyur tempo dulu juga sering dilewati cikar untuk mengangkut barang–barang tersebut ke pasar Pabean.


Pelabuhan Kalimas tempo dulu juga ditunjang dengan Jembatan Petek’an. Karena dengan dicetek jembatan tersebut bisa terbuka dan saat itulah kapal-kapal layar lewat. Namun sangat disayangkan jembatan Petek’an sekarang tidak dapat berfungsi lagi sebagaimana dahulu kala.


Ada satu hal yang membuat kita salut dan angkat topi adalah sais cikar merupakan pekerjaan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Bahkan ada satu keluarga mulai dari mbah buyutnya, ayahnya sampai anaknya semuanya menjadi sais cikar. Dengan penuh ketekunan, tulus ikhlas, mereka mengais rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di pelabuhan tradisional Kalimas Surabaya, jauh sebelum matahari muncul di permukaan bumi.



Nilai-nilai teladan dari para sais cikar


Menurut Dukut Imam Widodo, ada nilai- nilai yang perlu kita teladani dari para sais cikar tersebut. Diantaranya adalah:

Ketika adzan subuh dikumandangkan oleh muadzin, para sais itu bergegas menuju masjid terdekat di sekitar pelabuhan Kalimas untuk melaksanakan sholat Subuh berjamaah. Satu pemandangan yang luar biasa dari para sais. Walaupun bekerja keras, mereka tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk tetap melaksanakan sholat. Makanya, wajah para sais tempo dulu sejuk, bersinar dan tenang.


Para sais di pelabuhan Kalimas tidak ada yang rebutan sandang pangan. Jangan kita bayangkan, bahwa mereka berteriak-teriak seperti kernet angkot mencari penumpang. Saling berebut, sama sekali tidak! Mereka kelihatannya tenang-tenang saja, sebab sudah ada juragan kayu yang menjadi langganan mereka.


Uniknya, para juragan kayu itupun sudah berlangsung turun temurun, mulai dari mbah buyutnya sampai cucunya. Jadi boleh dikatakan antara sais satu dengan lainnya sudah mempunyai pelanggan tetap sendiri-sendiri. Dan itu berlangsung puluhan tahun secara turun temurun.


Sambil berkelakar, Pak Dukut, demikian biasa dipanggil, pernah bertanya, apakah ada sais cikar yang naik taraf hidupnya dengan menjadi juragan kayu? Maka jawaban yang diterima kompak, yaitu geleng-geleng kepala saja. Itu artinya tidak ada sais cikar yang naik pangkat menjadi juragan kayu.


Pelabuhan tradisional Kalimas, banyak dikunjungi oleh turis mancanegara. Hal ini dikarenakan ada daya tarik tersendiri dari pelabuhan tradisional tersebut. Beberapa hal yang menjadi daya tarik turis mancanegara berkunjung ke pelabuhan tradisional Kalimas adalah kapal-kapal sekunar dengan tiang-tiang layarnya yang menjulang, hiruk pikuk para kerani yang melakukan pekerjaan bongkar muat barang, teriakan para awak kapal dan ditambah lagi dengan deretan cikar yang sedang istirahat atau menunggu muatan.


Kesemuanya itu merupakan pemandangan yang teramat langkah di mata para turis mancanegara. Seandainya deretan cikar itu tidak ada di sekitar pelabuhan kalimas, maka pelabuhan itu tidak unik dan menarik lagi karena hilang daya magnetnya.


Bagaimana dengan kondisi pelabuhan Kalimas sekarang ini? Merupakan tugas bersama warga kota Surabaya khususnya pemkot Surabaya yaitu Dinas Pariwisata, untuk mengemas potensi pelabuhan Kalimas sedemikian rupa. Dapat dilakukan dengan cara, memasukkan menjadi salah satu destinasi wisata Surabaya dengan pembuatan brosur tentang cerita lama pelabuhan kalimas Surabaya. Atau mungkin juga dapat diadakan even lomba balapan cikar, adu kreasi menggambar cikar dan masih banyak lainnya yang bisa dilakukan.


Yang penting bagaimana potensi pelabuhan Kalimas dapat digali lagi lebih dalam dengan penyesuaian di berbagai tempat dengan tidak meninggalkan bentuk aslinya. Selamat berwisata ke Pelabuhan tradisional Kalimas Surabaya.


*Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Kota Surabaya dan Pemerhati Sosial.

*Tulisan ini juga dimuat di suaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar